Kejujuran dan keluguan warga samin seringkali disalahpahami masyarakat umum. Mereka kemudian dianggap bodoh, tolol, atau bahkan sinting. Meski sesungguhnya sikap dan ucapan tersebut karena sangat jujur cenderung naif.
Berikut ini ada beberapa cerita berbasis kisah nyata yang beredar di masyarakat sekitar Blora, Jawa Tengah, yang mengeksplorasi keluguan dan kejujuran warga samin.
(1) Orang Samin pada masa lalu selalu bepergian dengan jalan kaki. Sejauh apa pun mereka akan jalan kaki. Pada suatu saat ada orang Samin dari Blora yang ingin pergi ke Rembang.
Tentu saja itu adalah jarak yang jauh sekali jika ditempuh dengan jalan kaki. Ketika sampai di jalan raya seorang kondektur bus jurusan Rembang menawari orang itu.
"Pak…Rembang nggih? (Pak ke rembang ya)," tanya kondektur.
"Nggih (ya)."
"Lha monggo nitih bis. (Silakan naik bis)."
"Oh…nggih… (Oh iya)"
Dia pun naik bus itu. Tidak lama sang kondektur mendatangi orang Samin itu untuk menarik ongkos.
"Ongkosipun Pak? (Ongkosnya, Pak)."
"Ongkos menapa? (Ongkos apa?)"
"Ya ongkos nitih bis Pak. (Ya bayar untuk naik bus, Pak)"
Karena suara kondektur keras, semua mata penumpang tertuju pada mereka berdua.
"Njenengan ingkang nawani kulo nitih bis (Kan, tadi Anda yang menawari saya naik bis)."
"Tapi nggih tetep mbayar Pak (Tapi ya tetap membayar). "
"Kulo mboten gadah arto (Saya tidak punya uang)."
"Lek ngoten mandap mriki mawon (Kalau begitu, turun sini saja)."
"Nggih mboten nopo-nopo (Ya tidak apa-apa)."
Sang kondektur memberi aba-aba sopir untuk berhenti. Orang Samin itu siap-siap turun, tiba-tiba ada seorang penumpang yang hendak membayari orang Samin itu. Meski demikian, si Samin menolak.
"Sekeca mlampah mawon, mboten wonten ingkang ngajak tukaran (lebih nyaman jalan kaki saja, tidak ada yang ngajak berantem)," kata si Samin sambil melangkahkan kaki turun dari bus.
Salah satu bentuk perlawanan kaum Samin dengan Belanda adalah dengan mogok membayar pajak. Syahdan, saat itu ada petugas pajak kebangsaan Belanda yang menagih pembayaran pajak. Namun orang-orang Samin dengan sangat cerdas melawan tanpa kekerasan.
Penagih pajak itu setelah berbicara apa keperluannya, yakni menagih pembayaran pajak, tiba-tiba orang Samin itu malah masuk rumah membawa sekantung uang dan sebuah cangkul.
Merasa terancam, petugas pajak Belanda menyiapkan senjata dan siap menembak. Namun betapa kagetnya setelah melihat si Samin menggali sebuah lubang dan menanam uangnya di depan petugas Belanda itu.
"Bumi sing gawe Gusti Allah. Aku nandur neng bumi. Njupuk asile seko lemah. Dadi aku ra perlu mbayar pajek neng pemerintah, nanging aku mbayar pajek neng lemah. (Bumi itu buatan Allah. Saya menanam di bumi, mengambil hasil bumi dari tanah, jadi tidak perlu membayar pajak ke pemerintah tetapi membayar pajak ke tanah," kata si Samin.
Warga Samin sangat cinta lingkungan. Mereka hanya mau menebang pohon pada pohon yang ditanamnya. Suatu ketika, Belanda menangkap salah seorang Samin dan memenjarakannya karena kedapatan menebang pohon jati untuk membuat rumah.
Salah seorang Samin lalu datang ke Jakarta dan menghadap Presiden Soekarno, meminta pembenaran, karena yang menanam jati adalah mereka maka mereka berhak untuk menebang guna membangun rumah.
Presiden Soekarno waktu itu mengiyakan dan sang Samin pulang sambil membawa foto Bung Karno, meminta temannya dibebaskan dari penjara.
Ajaran Samin sejatinya adalah kejujuran, tidak mencuri, tidak menebar permusuhan dengan semua makhluk hidup. Tak terkecuali burung-burung.
Suatu ketika ada anak seorang Samin disuruh menjaga padi di sawah oleh seorang lain yang bukan dari komunitas Samin. Ketika orang itu datang dan melihat padinya diserbu ratusan burung pipit dan anak yang disuruh menjaga hanya diam, maka dia marah besar.
"Aku ki mung dikongkon jaga sawah, ora dikongkon ngusir manuk. (Saya hanya disuruh menjaga sawah bukan mengusir burung)," kata si anak Samin.
Karena sangat akrab dengan alam, orang-orang Samin di masa lalu tak pernah mau memetik buah apa pun sebelum jatuh. Termasuk buah kelapa, meski sejatinya buah kelapa itu sudah layak dipetik.
Selain itu, mereka tak pernah menaruh prasangka kepada orang lain, sehingga selalu siap membantu. Bahkan kepada orang yang tak dikenalnya, ia akan membantu. Kecuali satu hal, merusak alam.
Suatu hari ada pedagang kelapa datang ke perkampungan Samin. Ia hendak membeli kelapa, namun tidak ada. Maka, ia menyuruh seorang anak Samin untuk memetiknya agar bisa dibeli.
"Kowe menek klapa ya. (kamu manjat kelapa ya)," kata si pedagang.
"Ora iso (nggak bisa)," jawab si anak samin.
"Lah apa (mengapa)?" tanya si pedagang.
"Klapa kok dipenek. Sing iso dipenek kuwi wit klapa (kelapa kok dipanjat. Yang bisa dipanjat itu pohon kelapa)," jawab si anak samin.
"Oh ngapurane ya. Ya wis tulung menek wit klapa (oh maaf ya. Ya udah sekarang tolong manjat pohon kelapa ya)," kata si pedagang.
Maka si anak Samin itu bergegas menuju ke sebatang pohon kelapa. Dengan cekatan ia memanjat ke atas. Melihat hal itu, si pedagang tersenyum.
"Sak jam maneh aku mrene. Tak muter dhisik (Sejam lagi saya ke sini lagi. Saya mau keliling dulu)," kata si pedagang.
Satu jam kemudian, si pedagang kembali ke tempat semula. Ia heran tak ada kelapa yang sudah dipetik. Si anak Samin juga tak kelihatan. Ternyata ia sedang asyik tiduran di pelepah daun kelapa yang cukup besar.
"Lah apa kowe neng kana? Kok ora ngopek klapa, ora mudhun? Kebangeten nemen goblogmu (Mengapa kamu masih di situ tanpa memetik kelapa. Juga tidak turun? Kebangetan sekali ketololanmu)" teriak si pedagang.
"Aku mau kon menek wit klapa. Ora kon ngopek klapane. Aku kon menek njur mbok tinggal, ora dikongkon mudhun. Sing kebangeten ki sopo? (Saya tadi disuruh manjat pohon kelapa. Nggak disuruh memetik kelapanya. Juga nggak disuruh turun. Kalau seperti itu, yang kebangetan siapa?)" si anak menjawab.
Cerita-cerita berbasis pengalaman orang-orang berinteraksi dengan itu hingga kini masih beredar dan hidup di masyarakat sebagai folklorewong Samin. Cerita-cerita itu menunjukkan adanya konsistensi antara ucapan dan tindakan warga Samin.
ASUHAN KEPERAWATAN
Selasa, 07 Juni 2016
ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN STRIKTURA URETRA
TUGAS
PORTOFOLIO
ASUHAN
KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
STRIKTURA
URETRA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirahiim
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayahnya kepada kita semua sehingga saya dapat
menyelesaikan seminar ini dengan lancar. Sholawat serta salam marilah kita
haturkan kepada beliau Nabi Agung Muhammad
SAW yang akan kita nanti-nantikan syafa'atnya kelak di yaumul qiyamah
amin.portofolio ini berisi tentang “(penyakit STRIKTURA URETRA )”. mata kuliah PERKEMIHAN.
saya menyadari bahwa portofolio ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan.
Untuk itu, kritik, saran dan tegur sapa dari pembaca
budiman sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua amin.
Semarang,
Maret 2015
Penulis
A. PENGERTIAN
Striktura uretra adalah penyempitan lumen uretra karena
fibrosis pada dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnnya
mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus
spongiosum. (Purnomo P Basuki, 2011)
striktura adalh suatu kondisi penyempitan
uretra. sriktura uretra menyebab gangguan dalam berkemihyang mengecil sampai
sama sekali tidak dapatmengalirkan urine keluar dari tubuh. Urine yang tidak
dapat keluar sampaidari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi. Komplikasi
terberat yaitu gagal ginjal. Striktura uretra masaih merupakan masalah yang
sering ditemukan pada bagian dunia tertentu. Striktura uretra lebih sering
trjadi pada pria dari pada wanita karena uretra pada wnita lebih pendek dan
jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan
striktura. Seseorang dapat terlahir dengan striktura uretra, meskipun hal
terasebut jarang terjadi (muttaqin arif
& sari kumala , 2011).
Striktur
uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan kontraksi
(Susanne,
C Smelzer, 2002).
B. ETIOLOGI
Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu infeksi,
trauma pada uretra, dan kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menimbulkan
striktura uretra adalah infeksi oleh kuman gonokokus yang telah menginfeksi
uretra beberapa tahun sebelumnnya. Keadaan ini sekarang jarang dijumpai karena
banyak pemakaian antibiotika untuk memberantas urethritis.
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul
pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelfis, dan instrumentasi
atau tindakan transuretra uretra yang kurang hati-hati. Tindakan yang kurang
hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan salah jalan (false route)
yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan striktura dikemudian hari;
demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter menetap
menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare yang
mengakibatkan penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra
daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau striktura uretra. (Purnomo P Basuki, 2011)
Penyebab umum suatu
penyempitan uretra adalah akibat traumatik atau iatrogeni, penyebab lainnya
adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan uretra. (muttaqin arif
& sari kumala , 2011)
C. MANIFESTASI
1.
Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang
2.
Gejala infeksi
3.
Retensi urinarius
4.
Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan
pielonefritis
(Susanne,
C Smelzer, 2002)
Keluhan:
kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran bercabang
dan menetes sampai retensi urine. Pembengkakan dan getah / nanah di daerah
perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila
terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urine bisa keruh (Nursalam ,
2008).
D. PATOFISIOLOGI
proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan
menyebabkan terbentuknnya jaringan sikatrik pada uretra. jaringan sikatriks
pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urin hingga retensi urin. Aliran
urin yang terhambat mencari jalan keluar ditempat lain (disebelah proksimal
striktura) dan akhirnya mengumpul dirongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada
keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai
fistula seruling. (Purnomo P Basuki, 2011).
Struktur uretra Terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan
submukosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah
dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosannya terdiri
atas lapisan erektil vaskuler.
Striktura uretra dapat diakibatkan dari proses peradangan,
iskemik, atau traumatic apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi
proses penyembuhan cara epimorfosis, artinnya jaringan yang rusak diganti oleh
jaringan ikat yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan
terbentuknnya jaringan perut yang memberikan manifestasi hilangnnya elastisitas
dan memperkecil lumen uretra (muttaqin arif
& sari kumala , 2011).
E. DERAJAT PENYEMPITAN URETRA
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktura uretra
dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1. Ringan
: jika okulasi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
2. Sedang
: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat
: jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba
jaringan keras dikorpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk mengetahui pola pancaran urine secara objektif, dapat
diukur dengan cara sederhana atau dengan memakai alat uroflometri. Derasnya
pancaran dapat diukur dengan membagi volume urine yang dikeluarkan pada saat
miksi, kecepatan pancaran pria normalnnya adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran
kurang dari 10 ml/detik menandakan ada obstruksi.
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnnya penyempitan
uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi mengenai panjang srtiktura
adalah dengan membuat foto bipolar sisto-uretrografi dengan cara memasukkan
bahan kontras secara antegrad dari buli buli dan secara retrograde dari uretra.
Melihat penyumbatan uretra secara langsung dilakukan melalui
uretroskopi, yaitu melihat striktura transutra. Jika diketemukan striktura
langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan
fibrotic dengan memakai pisau sachse.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Jika pasien dating
karena retensi urine, secepatnnya diakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan
pemberian antibiotika.
Tindakan khusus
yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah :
Businasi
(dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati- hati. Tindakan yang
kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimpulkan striktura
lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route)
Uretrotomi interna
yaitu : memotong jaringan striktura uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau
sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura total. Sedangkan pada
striktura yang lebih berat, pemotongan striktura dikerjakan secara visual
dengan memakai pisau sachse.
Uretrotomi
eksterna yaitu tindakan oprasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis,
kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra yang masih sehat.
Pada striktura
yang panjang dan buntu total, seringkali diperlukan beberapa tahapan operasi
yakni tahap pertama dengan membelah uretra dan membiarkan untuk epitalisasi
(johanson I) dan dilanjutkan pada tahap dengan membuat neuretra (johanson II) (Purnomo P Basuki, 2011).
Laboratorium untuk
pemeriksaan pelengkap pembedahan. Selain itu beberapa dilakukan untuk
mengetahui adannya tanda tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine.
Uroflowmetri
adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urine
dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamannya proses miksi. Kecepatan
pancaran urine normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik.
Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan adannya obstruksi.
Radiologi adalah
diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak
penyempitan dan besarnnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap
mengenai panjang sriktura adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukan bahan
kontras secara antegrad dari buli buli dan secara retrograde dari uretra.
Dengan pemeriksaan ini, panjang striktura dapat diketahui sehingga penting
untuk perencanaan terapi atau operasi (muttaqin
arif & sari kumala , 2011).
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tidak ada terapi medis untuk
mengobati penyakit striktura uretra. Intervensi utama untuk mengatasi masalah
striktura uretra adalah dengan pembedahan. Beberapa jenis pembedahan yang dapat
dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. Pelebaran
uretra, baik secara uretotomi internal atau pemasangan stant uretra
2. Bedah
rekonstruksi (muttaqin arif & sari kumala ,
2011).
I. PENYULIT/ KOMLIKASI
Obstruksi uretra
yang lama menimbulkan stasis urine dan menimbulkan berbagai penyulit,
diantarannya adalah : infeksi saluran kemih, terbentuknnya divertikel
uretra/buli buli, abses periuretra, batu uretra, fistel uretro-kutan, dan
karsinoma uretra. (Purnomo P Basuki, 2011)
Komplikasi terberat yaitu gagal ginjal. (muttaqin arif
& sari kumala , 2011)
J. PATHWAYS
K. PENGKAJIAN
Keluhan utama pada
striktura uretra bervariasi sesuai dengan derajat penyempitan lumen pada
uretra. Keluhan utama yang lazim adalah pancaran urin kecil dan berkembang.
Keluhan lain biasannya adalah berhubungan dengan gejala iritasi dan infeksi
seperti: frekuensi, urgensi, dysuria, inkontinensia, urine yang menetes, kadang
kadang dengan penis yang membengkak, infiltrate, abses dan fistel. Keluhan yang
lebih berat adalah tidak bisa mengeluarkan urine/tidak bisa miksi(retensi urin)
Pada pemeriksaan
fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adannya suatu kelainan akibat
fibrosis diuretra, infiltrate,abses atau terbentuknnya suatu fistula. (muttaqin arif & sari kumala , 2011)
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan
pemenuhan eliminasi urine b/d retensi urine, obstruksi uretra sekunder dari
penyempitan lumen uretra.
2. Resiko
tinggi trauma b/d kerusakan jaringan pascaprosedur pembedahan
3. Nyeri
b/d peradangan dari terminal saraf, dysuria, resistensi otot prostat, efek
mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri paskabedah.
4. Resiko
tinggi infeksi b/d port de entrรฉe luka pascabedah.
5. Kecemasan
b/d prognosis pembedahan, tindakan
diagnosis invasif
6. Pemenuhan
informasi b/d rencana pembedahan, prognosis penyakit
7. Gangguan
konsep diri (gambaran diri) b/d resiko lerusakan organ seksual (muttaqin arif & sari kumala , 2011).
M. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Gangguan
pemenuhan eliminasi urine b/d retrnsi urine,
Tujuan : dalam waktu 5 kali 24 jam pola eliminasi optimal sesuai kondisi
klien.
Kriteria evaluasi :
-
Eliminasi urin tanpa ada keluhan subjektif,
seperti nyeri dan urgensi
-
Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter
-
Pasca bedah tanpa ada komplikasi
-
Frekuensi miksi dalam batas 5 sampe 8 kali/24
jam
Interfensi
a. Kaji
pola berkemih dan jatat produksi urin tiap 6 jam
R/ mengetahui pengaruh iritasi kandung kemih dengan frekuensi miksi
b. Monitor
adannya keluhan subjektif pada saat melakukan eliminasi urin
R/ parameter penting dalam mengevaluasi intervensi yang telah
dilaksanakan
c. Kolaborasi
:
§
Peleburan uretra, baik secara uretrotomi
internal atau pemasangan stain uretra
§
Bedah rekonstruksi
R/ intervensi bedah dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan eliminasi
urin, pemilihan jenis pembedahan dilakukan sesuai derajat penyempitan dan
tingkat toleransi individu.
d. Evaluasi
paska intervensi pasca pelebaran uretra
R/kekambuhan striktur uretra dari intervensi pelebaran uretra adalah
komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang, intervensi untuk melebarkan
uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk instrument yang
dimasukan melalui urothelium kedalam korpus spongeosum. Resiko ini dapat
diminimalisasi dengan tehnik hati” dan pemilihan pelebaran yang tepat untuk
pasien.
2. Resiko
tinggi trauma b/d kerusakan jaringan pascaprosedur pembedahan
Tujuan : dalam waktu 5 kali 24 jam tidak mengalami trauma pasca bedah.
Kriteria evaluasi :
-
Tidak ada keluhan subjektif, seperti dysuria dan
urgensi
-
Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter
-
Pasca bedah tanpa adannya komplikasi
Intervensi
a. Monitor
adannya keluahan subjektif pada saat melakukan eliminasi urin
R/ parameter penting dalam mengevaluasi intervensi yang telah
dilaksanakan.
b. Istirahatkan
pasien setelah pembedahan
R/ pasien dianjurkan tirah baring selama 48 jam, tergantung pada sejauh
mana prosedur yang telah dilakukan.
c. Lepas
kateter pada hari 1-3 pasca oprasi
R/ menurunkan resiko cidera pada uretra.
d. Evaluasi
pasca – intervensi pelebaran uretra
R/ kekambuhan striktur uretra dari intervensi pelebaran
uretra adalah komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang intervensi untuk
melebarkan uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk
instrument yang dimasukan melalui urothelium kedalam korpus spongeosum. Resiko
ini dapat diminimalisasi dengan tehnik hati” dan pemilihan pelebaran yang tepat
untuk pasien.
e. Kolaborasi
1. Antibiotic
intervena pasca oprasi
R/ menurunkan resiko infeksi yang akan meningkatkan
respon trauma jaringan pasca bedah.
2. Agen
anti muskarinik
Sering digunakan untuk mencegah kejang kansung kemih
Bibliography
muttaqin arif & sari kumala . (2011). asuhan
keperawatan gangguan sistem perkemihan. jakarta: salemba medika.
Purnomo P Basuki. (2011). dasar dasar urologi edisi
3. malang: sagung seto.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA Tn S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN Tn. S
DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA”
Makalah
ini berisikan tentang informasi Pengertian BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA atau yang
lebih khususnya membahas tentang etiologi ,Patofisiologi serta Asuhan
keperawatan BPH. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Semarang, 3 juli 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
B. TUJUAN
PENULISAN
C. METODE
PEENULISAN
D. SISTEMATIKA
PENULISAN
BAB II KONSEP DASAR
A. KONSEP
DASAR PENYAKIT
1.
Anatomi dan Fisiologi
2.
Pengertian
3.
Etiologi
4.
Patofisiologi
5.
Manifestasi Klinis
6.
Penatalaksanaan
B. KONSEP
KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN RASA NYAMAN
1. Pengkajian
Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
2. Diagnosa
Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
3. Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan
Kebutuhan Rasa Nyaman.
BAB III RESUME ASKEP
A. Pengkajian
Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
B. Pathways
Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
C. Diagnosa
Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien, Dan Fokus Intervensi
Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien.
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
Simpulan Dan Saran.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Kelenjar prostat adalah satu organ
genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli buli dan melingkari uretra
posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011).
Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars
prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli atau
lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat Hiperplasy
(BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo, 1994).
Pasien yang telah dilakukan tindakan
pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah lain, masalah yang dapat terjadi
setelah tindakan trans vesica
prostatectomy (TVP) seperti pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak,
retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo,
2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 %
diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi
adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164
pasien (98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%).
Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering (64%)
adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006).
BPH merupakan penyakit yang biasa
terjadi pada laki-laki usia lanjut, ditandai dengan pertumbuhan yang sangat
cepat pada epitel prostat dan daerah transisi jaringan fibromuscular pada
daerah periurethral yang bisa menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urin
yang tertahan. Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi
sebesar 40% dan 90 % terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun. Hasil
penelitian menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap BPH adalah
umur 50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI :
1,71-22,99 ; p = 0,006), riwayat keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI : 1,78-15,69 ; p
= 0,003), kurangnya makan-makanan berserat (OR = 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p
= 0,001) dan kebiasaan merokok (OR = 3,95 ; 95% CI : 1,35-11,56 ; p = 0,012).
Sedangkan faktor-faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap BPH adalah
riwayat obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ; p = 0,156), kebiasaan
berolahraga (OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p = 0,006), Riwayat penyakit
Diabetes Mellitus (OR = 5,829 ; 95% CI : 1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan
minum-minuman beralkohol (OR = 1,973 ; 95% CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126).
Probabilitas untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor risiko diatas
adalah sebesar 93,27 %. Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak
adalah umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-makanan berserat dan kebiasaan
merokok (Amalia, 2010).
B. TUJUAN
PENULISAN
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan
Benigna Prostat Hiperplasia
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa
mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat
Hiperplasia
b. Mahasiswa mampu membuat pathways
keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat
Hiperplasia
c. Mahasiswa mampu membuat diagnosa
keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat
Hiperplasia
d. Mahasiswa mampu membuat intervensi
keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat
Hiperplasia
C. METODE
PENULISAN
1. Metode Diskriptif yang menggunakan pendekatan studi kasus melalui
pendekatan proses keperawatan dengan langkah pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
2. Sumber data :
Studi kepustakaan dengan mempelajari buku
sumber yang berhubungan dengan masalah Benigna Prostat Hiperplasia.
D. SISTEMATIKA
PENULISAN
Dalam penulisan seminar/presentasi
keperawatan penulis membagi 5 BAB :
1. BAB
I : PENDAHULUAN yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode peenulisan
dan sistematika penulisan.
2. BAB
II : KONSEP DASAR yang berisi konsep dasar BPH yang meliputi pengertian,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan. Konsep
kebutuhan dasar gangguan rasa nyaman meliputi pengkajian fokus gangguan
kebutuhan rasa nyaman, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman,
diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman, dan fokus intervensi dan
rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman.
3. BAB
III : RESUME ASKEP BPH berisi Pengkajian fokus gangguan kebutuhan rasa nyaman
pada pasien, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien,
diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, dan fokus
intervensi dan rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien.
4. BAB
IV : PEMBAHASAN berisi kesenjangan antara teori dan kasus, disertai justifikasi
yang jelas.
5. BAB
V : PENUTUP berisi simpulan dan saran.
BAB
II
KONSEP DASAR
A. KONSEP
DASAR BPH
1. Anatomi
dan Fisiologi Prostat
1) Anatomi
Prostat
Menurut Wibowo dan
Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi
uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma
urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.
Gambar
2. 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )
Prostat
terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat dibentuk
oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh
capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal.
Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic
urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum
puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan
tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia
rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (
Purnomo, 2011).
Kelenjar
prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50 kelenjar yang terbagi
atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau
isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus
sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos,
selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus
ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan
terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus
medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada
waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar
ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari
besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang
lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri
dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga)
dan kapsul/muskuler.
Prostat
merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus
atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda
spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan
simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior,
seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot
polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat
banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus
otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran
kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra
posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
2) Fisiologi
Prostat
Menurut
Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung kepada
pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi
peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang
mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen
relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam
fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat mensekresi
sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini
mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta
fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan
ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat
asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain
pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume
ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan
perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat
bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya
mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut
setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma (
Wibowo dan Paryana, 2009 ).
2. Pengertian
BPH
Ada beberapa pengertian
penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli adalah :
1) Benigna
Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke
atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis)
secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2) BPH
merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat
tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3) BPH merupakan suatu keadaan yang sering
terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya
perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular,
pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi
urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang
biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi
leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan
gangguan perkemihan.
3. Penyebab
BPH
Penyebab yang pasti dari
terjadinya BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada
beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon
estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada
pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.
c.
Interaksi stroma –
epitel
Peningkatan epidermal
gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming growth
factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d.
Berkurangnya sel yang
mati
Estrogen yang meningkat
menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e.
Teori sel stem
Teori sel steam
menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan
produksi sel stroma dan sel epitel kelenjprostat menjadi berlebihan (Poernomo,
2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).
4. Patofisiologi
BPH
Hiperplasi
prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis
akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero,
dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara
perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih
masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya
obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami
iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa
bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi),
dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang
mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada
tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi
kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong,
2005).
5.
Manifestasi Klinis BPH
Obstruksi prostat dapat
menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1)
Keluhan pada saluran
kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan
gejala obstruktif.
Gejala iritatif meliputi:
a.
(frekuensi) yaitu
penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
b.
(nokturia),
terbangun untuk miksi pada malam hari
c.
(urgensi) perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
d.
(disuria).nyeri pada
saat miksi
Gejala obstruktif meliputi:
a.
rasa tidak lampias
sehabis miksi.
b.
(hesitancy), yaitu
memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
c.
(straining) harus
mengejan
d.
(intermittency)
yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan
otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya
miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan
inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang
secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2)
Gejala pada saluran
kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal
ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis,
foetoruremik dan neuropati perifer.
3)
Gejala di luar saluran
kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis
dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo,
2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
4)
warna urin merah cerah,
pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada
pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1.
Hemorogi
a.
Hematuri
b.
Peningkatan nadi
c.
Tekanan darah menurun
d.
Gelisah
e.
Kulit lembab
f.
Temperatur dingin
2.
Tidak mampu berkemih
setelah kateter diangkat
3.
Gejala-gejala
intoksikasi air secara dini:
a.
bingung
b.
agitasi
c.
kulit lembab
d.
anoreksia
e.
mual
f.
muntah
6. Penatalaksanaan
BPH
1) Observasi
Biasanya
dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi
minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi
kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control
keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(Purnomo, 2011).
Pemeriksaan
derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan
mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual
urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG
setelah miksi.
b. Pancaran
urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2) Terapi
medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi
pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra
b. Mengurangi
resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat
alfa adrenergenik)
c. Mengurangi
volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron
(DHT).
Adapun obat-obatan yang
sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya :
penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat
adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang
lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik
karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak
kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul
prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini
dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan
gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin
timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat- obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat
enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan
dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan
sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan
terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek
samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan
ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll.
Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
3) Terapi
bedah
Pembedahan
adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada
beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda
penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada
prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang
dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan
terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan
adalah :
a) Prostatektomi
suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas.
Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan
komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup
banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah
insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi
perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy
terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan
ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi
retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar
prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang
lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi
infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan
endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan
memakai tenaga elektrik diantaranya:
a)
Transurethral Prostatic
Resection (TURP)
Merupakan
tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah
yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan
apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta
waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP
adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus
menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
b)
Transurethral Incision
of the Prostate (TUIP)
Adalah
prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume
prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP
adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram
atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
c)
Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapi invasive minimal
dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi
invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi
jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
1. Transurethral
Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di
beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang
diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi
lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
2. Transuretral
Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran)
saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan
melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga
cara ini sekarang jarang digunakan
3. Transuretral
Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio
yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan
nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh
hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d)
Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika
untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra
prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.
B. KONSEP
DASAR GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA PENYAKIT BPH
1. Pengkajian
Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
Pengkajian nyeri akut
penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena nyeri merupakan
pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing
individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri,
seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural.
Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk
mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan
fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif
terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :
P (pemicu) yaitu faktor
yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri, apakah
rasa tajam, tumpul atau tersayat.
R (region) yaitu daerah
perjalanan nyeri.
S (severty) adalah
keparahan atau intensits nyeri.
T (time) adalah lama/waktu
serangan atau frekuensi nyeri.
- Riwayat Nyeri
Saat mengkaji riwayat
nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk mengungkapkan cara
pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka
sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan
bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk menentukan lokasi
nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini
biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai bagian
tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang
memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas
nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri
pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10.
Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan
nyeri “terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan
bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating
Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan intensitas
nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan komunikasi.
Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah
dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara
obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan
nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa
berkomunikasi).
3). Kualitas Nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa
seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata
yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat
dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan
tindakan yang diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu
awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya,
perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung,
apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor Presipitasi
Terkadang aktivitas
tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas fisik yang
berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan
yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat
memicu munculnya nyeri.
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual,
muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri
atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh
mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan membantu perawat
memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu
dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan,
hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu
seggang serta status emosional.
8). Sumber koping
Setiap individu memiliki
strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat
dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien
terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi nyeri,
interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji
adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri
klien.
- Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri
diantaranya :
1). Ekspresi wajah:
a)
Menutup mata rapat-rapat
b)
Membuka mata lebar-lebar
c)
Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a) Menangis
b)
Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan digerakan tubuh tanpa tujuan yang jelas):
a) Menendang-nendang
b) Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons
fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi nyeri.
Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a)
Peningkatan tekanan darah
b)
Nadi dan pernapasan
c)
Diaforesis
d)
Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
2.
Diagnosa Keperawatan
a)
Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik.
b)
Nyeri kronis berhubungan
dengan kerusakan jaringan.
3.
Intervensi Keperawatan
ASUHAN
KEPERAWATAN Tn.S DENGAN BPH POST PROSTATEKTOMY
DI
RUANG PRABU KRESNA RSUD KOTA SEMARANG
A.
BIODATA
- Identitas pasien
Nama : Tn.
Sugiyan
Umur
: 65
tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah 1 kali
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Alamat : Pucang
Gading RT/RW : 07/11 ,Mranggen,Demak
Tanggal Masuk :
22 Juni 2015
No. Register :
198785
Diagnosa medis : BPH
- Penanggung jawab
Nama : Ny.
Neli Darwati
Umur : 48
tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : MTs
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri
B.
RIWAYAT KESEHATAN
- Keluhan Utama
Perut
bagian kiri sakit, dada sakit
- Riwayat penyakit sekarang
- Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit
BAK
sulit
- Faktor pencetus
Umur
sudah tua
- Lamanya keluhan
2
hari
- Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak)
bertahap
- Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Jika
sakit dipijitkan
- Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu
Pernah
dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid
- Riwayat kesehatan keluarga
Paman
pernah menderita tumor
C.
POLA KESEHATAN
FUNGSIONAL( DATA FOKUS)
- Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Persepsi pasien tentang kesehatan diri
Sebelum
sakit : kesehatan adalah nikmat
dari Allah
Setelah
dirawat : kesehatan adalah nikmat dari
Allah
- Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakitnya
Sebelum
sakit : perut kiri ada benjolan
Setelah
dirawat : BAK sulit karena penyakit
prostat
- Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
Sebelum
sakit : pasien jarang bberobat
Setelah
dirawat : pasien berobat langsunng ke
Puskesmas
- Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan (apa yang dilakukan pasien bila sakit, kemana pasien biasa berobat bila sakit)
Sebelum sakit :
pasien biasa kerokan kalau sakit
Setelah
dirawat : pasien periksa di Puskesmas
dan Rumah Sakit
- Kebiasaan hidup
Sebelum
sakit : pasien dahulu konsumsi kopi
dan rokok
Setelah
dirawat : pasien tidak merokok dan
minum kopi
- Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan kesehatan
Sebelum
sakit : pasien terdaftar di
Jamkesmas
Setelah
dirawat : pasien terdaftar di
Jamkesmas
- Pola nutrisi dan metabolik
- Pola makan
Sebelum
sakit : pasien biasa makan 3 kali
sehari
Setelah
dirawat : pasien makan tidak seperti
biasanya
- Apakah keadaan sakit saat ini mempengaruhi pola makan/minum
Sebelum
sakit : pasien biasa habis 1 porsi
setiap makan
Setelah
dirawat : pasien tidak habis 1 porsi
setiap makan
- Makanan yang disukai pasien, adakah makanan pantangan / makanan tertentu yang menyebabkan alergi, adakah makanan yang dibatasi
Sebelum sakit :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
Setelah dirawat :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
- Adakah keyakinan atau kebudayaan yang dianut yang mempengaruhi diit
Sebelum sakit :
kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
Setelah dirawat :
kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
- Kebiasaan mengkonsumsi vitamin/obat penambah nafsu makan (jumlah yang dikonsumsi setiap hari, sudah berapa lama)
Sebelum sakit :
pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
Setelah dirawat :
pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
- Keluhan dalam makan
Sebelum sakit :
pasien tidak memiliki keluhan dalam makan
Setelah dirawat :
pasien mual setelah operasi
- Pola minum
Sebelum sakit :
pasien biasa minum air putih kurang lebih 8 gelas sehari
Setelah dirawat :
pasien biasa minum 3 gelas sehari
- Bila pasien terpasang infuse berapa cairan yang masuk sehari
Pasien
terpasang infus pada ektremitas atas sebelah kanan dan dalam satu hari cairan
yang masuk 1-3 plabot perhari
- Keluhan demam
Post
operasi hari ke 1-3 pasien merasa demam
- Pola eliminasi
- Eliminasi feses
Sebelum
sakit : pasien biasa BAB 1 kali
sehari
Setelah
dirawat : pasien belum pernah BAB
setelah dioperasi
b.
Eliminasi urin
Sebelum
sakit : pasien BAK seperti biasanya,
warna urin jernih
Setelah
dirawat : pasien BAK melalui kateter,
warna urin pasien keruh
- Pola aktifitas dan latihan
a.
Kegiatan dalam pekerjaan
Sebelum
sakit : pasien biasa bekerja dan
beraktivitas
Setelah
dirawat : pasien tidak bisa bekerja
dan beraktivitas seperti biasanya
b.
Keluhan dalam aktivitas
Sebelum sakit : pasien biasa melakukan aktivitas tanpa
bantuan
Setelah dirawat : semua aktivitas pasien dibantu oleh
keluarga
- Pola istirahat dan tidur
- Kebiasaan tidur
Sebelum sakit :
pasien biasa tidur setelah tengah malam
Setelah dirawat :
pasien biasa tidur setelah tengah malam
- Kesulitan tidur
Sebelum
sakit : pasien biasa tidur pulas
Setelah dirawat :
pasien mudah terbangun
- Pola persepsi sensori dan kognitif
- Keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensasi
Sebelum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi
sensori
Setelah dirawat : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
- Kemampuan kognitif
Sebelum sakit :
pasien tidak mengalami gangguan kognitif
Setelah dirawat :
pasien tidak mengalami gangguan kognitif
- Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan pendekatan P,Q,R,S,T
P = nyeri bertambah saat
beraktivitas
Q = nyeri seperti
dicengkeram
R = nyeri ulu hati
S = Skala 3
T = 2 hari
- Pola hubungan dengan orang lain
Sebelum
sakit : pasien biasa bersosialisasi
dengan orang lain
Setelah
dirawat : pasien biasa bersosialisasi
dengan orang lain
- Pola reproduksi dan seksual
Sebelum sakit :
pasien biasa berhubungan seksual dengan istrinya
Setelah dirawat :
pasien tidak bisa berhubungan seksual dengan istrinya
- Persepsi diri dan konsep diri
Sebelum sakit :Pasien
biasa menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga
Setelah
dirawat :pasien tidak bisa bekerja
10. Pola Mekanisme koping
Sebelum sakit :
pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
Setelah dirawat :
pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Sebelum
sakit : pasien biasa menjalankan
sholat 5 waktu
Setelah
sakit : pasien biasa menjalankan
sholat 5 waktu
D.
PENGKAJIAN FISIK
- Keadaan umum : Baik
- Tingkat kesadaran : Composmentis
- Tanda-tanda vital
- Suhu tubuh : C
- Tekanan darah : 150/82 mmHg
- Respirasi : 28x/menit, cepat, teratur
- Nadi : 82 x/menit, kuat, teratur
- Pengkajian nyeri : Nyeri dada kanan, skala 2
4. Pengukuran antropometri : LiLA= 29 cm
5. Kepala : Mesocephal
a.
Rambut
warna hitam, lebat, nampak bersih
b.
Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c.
Hidung
hidung nampak bersih
d.
Telinga
pendengaran
baik,
telinga nampak bersih
e.
Mulut
bibir
tidak kering, tidak ada ginggivitis
- Leher dan tenggorok : tonsil tidak membesar
- Dada dan thorak
Bentuk dada
simetris
- Paru-paru : tidak ada ronchi dan wheezing
- Jantung : Ictus cordis tidak tampak
- Abdomen : luka operasi post prostatektomi
6.
Genital : nampak bersih, terpasang kateter
7.
Ekstremitas
- Inspeksi kuku, kulit
Tidak
sianosis, turgor baik, tidak ada edema
- Capillary refill
<
2 detik
- Kemampuan berfungsi
Tonus
otot baik
- Bila terpasang infus
tidak
ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8.
Kulit
Kulit
nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema
E.
DATA PENUNJANG
1)
Hasil pemeriksaan penunjang
a.
Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb :
10,0 g/dL
Hematokrit :
32,9 %
Leukosit :
10.000 sel/mm3
Trombosit :
206.000 sel/mm3
Eritrosit :
3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau : Khas
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Ph : 7,0
Protein : +
Reduksi : -
Keton : -
Bilirubin : -
Urobilin : -
Nitrit : -
BJ
urin : 1,010
Sedimen
Eritrosit : 6-8
Lekosit : 25-30 (ada yang
bergelombang)
Bakteri : positif
Benang
mucus : +
Kristal : AMORS/+
b.
Pemeriksaan Radiologi
X
Foto BNO - IVP :
UTI
dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran
kelenjar prostat
c.
Pemeriksaan UGS
Kesan
:
Cystitis
Pembesaran
kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak
tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi
d.
Diit yang diperoleh
e.
TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
f.
Therapy
Infus
RL 20 tpm
Inj.
Gentamicin 2x80 mg
Inj.
Ketorolac 2x30 mg
Inj.
Shorax 4x750 m
PENGELOMPOKAN
DATA
NO
|
TGL
|
DATA (DS DAN DO)
|
TTD & NAMA
|
1.
|
Selasa, 30 juni 2015
|
DS :
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada sakit.
DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ; RR 20X/menit ;
Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20 tpm
|
|
2.
|
Rabu,1 juni 2015
|
DS :
Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka post operasi,
pasien mengatakan tidak nafsu makan, ingin cepat pulang ke rumah.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi
|
|
3.
|
Jum’at, 3 juni 2015
|
DS :
Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)
DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain
|
ANALISA
DATA
DATA (DS dan DO)
|
MASALAH (P)
|
ETIOLOGI (E)
|
DS :
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada sakit.
DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ; RR 20X/menit ;
Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20 tpm
|
Nyeri akut
|
Agen cidera fisik : post operasi TVP
|
DS :
Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka post operasi,
pasien mengatakan tidak nafsu makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi
|
Resiko infeksi
|
Prosedur invasif : luka post operasi
TVP
|
Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3), lemas.
DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain
|
Hambatan mobilitas fisik
|
Ketidaknyamanan : pemasangan kateter,
luka post operasi.
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Nyeri akut b/d Agen cidera fisik, post operasi TVP
- Resiko infeksi b/d Prosedur invasif, luka post operasi TVP
- Hambatan mobilitas Fisik b/d Ketidaknyamanan, pemasangan kateter, luka post operasi.
PERENCANAAN
NODX
|
WAKTU (TGL/JAM)
|
TUJUAN & KRITERIA
(NOC)
|
RENCANA
(NIC)
|
RASIONAL
|
1.
|
30 juni 2015
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3X24 jam, pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil :
- Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan),
- melaporkan bahwa
nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, - mampu mengenali
nyeri(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri),
- menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri berkurang
|
|
|
NODX
|
WAKTU (TGL/JAM)
|
TUJUAN & KRITERIA
(NOC)
|
RENCANA
(NIC)
|
RASIONAL
|
2
|
Rabu,1 juni 2015
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
- Klien bebas dari
tanda dan gejala infeksi
- menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam batas
normal
- menunjukkan perilaku
hidup sehat.
|
|
|
NODX
|
WAKTU (TGL/JAM)
|
TUJUAN & KRITERIA
(NOC)
|
RENCANA
(NIC)
|
RASIONAL
|
3
|
Jum’at, 3 juni 2015
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam, hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil :
- Klien meningkat
dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas,
memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkaan kekuatan dan kemampuan
berpindah, memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi.
|
|
|
TINDAKAN
KEPERAWATAN
NO DX
|
TGL/JAM
|
TINDAKAN
|
RESPON PS
|
TTD & NAMA
|
|
30 juni 2015
|
Manajemen nyeri :
Teknik relaksasi napas dalam
|
Nyeri sedikit berkurang
Lebih nyaman
|
|
|
Rabu,1 juni 2015
|
Perawatan luka post operasi di perut,
mengganti botol drain, dan perawatan kateter
|
Pasien mengatakan nyaman setelah
dibersihkan lukanya
|
|
|
Jum’at, 3 juni 2015
|
Mobilisasi dini:
Mengubah posisi pasien miring kanan
dan kiri dan melatih ROM aktif dan pasif secara perlahan.
|
Pasien mengatakan tubuhnya tidak kaku dan lebih
nyaman.
|
CATATAN
PERKEMBANGAN
NO DX
|
WAKTU (TGL/JAM)
|
EVALUASI
|
TTD & NAMA
|
|
Selasa, 30 juni 2015
|
S : pasien mengatakan nyeri di luka
post operasi
O : KU baik, pasien tampak menahan
nyeri, terpasang infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang
kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri
berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam
|
|
|
Rabu,1 juni 2015
|
S : pasien mengatakan nyeri pada luka
post operasi
O : TD 110/60 mmHg, S 36 ยบ c, N
80x/menit, RR 20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang drain,
dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi
luka
P : perawatan luka, perawatan kateter,
mengganti botol drain.
|
|
|
Jum’at, 3 juni 2015
|
S : pasien mngetakan lemas, takut
untuk bergerak, duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini
|
PATHWAYS
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes E. maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat.
R dan Wim De Jong2002.Buku Ajar Ilmu
Bedah.Jakarta: EGC
Purnomo, B.B.
(2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto
Sjamsuhidajat, R.,
& Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu
bedah (Edisi 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal
Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Langganan:
Postingan (Atom)